1. Pemberian Gelar
ImageSesuatu yang khas Minangkabau ialah bahwa setiap laki-laki yang
telah dianggap dewasa harus mempunyai gelar. Ini sesuai dengan pantun
adat yang berbunyi sbb :
Pancaringek tumbuah di paga Diambiak urang ka ambalau Ketek banamo gadang bagala Baitu adaik di Minangkabau
Ukuran dewasa seorang laki-laki ditentukan apabila ia telah berumah
tangga. Oleh karena itulah untuk setiap pemuda Minang, pada hari
perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya. Menurut kebiasaan
dikampung-kampung dulu, bagi seorang laki-laki yang telah beristeri
rasanya kurang dihargai, kalau ia oleh fihak keluarga isterinya
dipanggil dengan menyebut nama kecilnya saj
Penyebutan gelar seorang menantu, walaupun dengan kata-kata Tan saja
untuk Sutan atau Kuto saja untuk Sutan Mangkuto, telah mengungkapkan
adanya sikap untuk menghormati sang menantu atau rang sumandonya.
Ketentuan ini sudah tentu tidaklah berlaku bagi orang-orang tua pihak
keluarga isteri yang sebelumnya juga sudah sangat akrab dan intim dengan
menantu atau semendanya itu dan telah terbiasa memanggil nama.
Setiap kelompok orang seperut yang disebut satu suku didalam sistim
kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang
diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada kemenakannya
yang laki-laki. Gelar inilah yang diberikan sambut bersambut kepada
pemuda-pemuda sepersukuan yang akan berumah tangga. Karena itu pemberian
gelar untuk seorang pemuda yang akan kawin, harus dimintakan kepada
mamaknya atau saudara laki-laki dari pihak ibu.
Selain dari mengambil gelar dari perbendaharaan suku yang ada dan telah
dipakai oleh kaumnya sejak dahulu, maka gelar untuk seorang calon
mempelai pria dengan persetujuan mamak-mamaknya juga dapat diambilkan
dari persukuan ayahnya atau dari dalam istilah Minang disebut pusako
bako. Dan yang tidak mungkin atau sangat bertentangan dengan ketentuan
adat ialah mengambil gelar dari pihak persukuan calon isteri, karena
dengan demikian calon mempelai pria akan dinilai sebagai perkawinan
orang sesuku.
Ketentuan untuk memberikan gelar adat kepada pemuda-pemuda yang baru
kawin ini, tidak hanya harus berlaku dari rang sumando atau
menantu-menantu yang memang berasal dari suku Minangkabau saja, tetapi
juga dapat diberikan kepada orang semenda atau menantu yang berasal dari
suku lain. Kepada menantu orang Jawa, orang Sunda bahkan kepada menantu
orang asing sekalipun. Karena gelar seorang menantu sebenarnya lebih
berguna untuk sebutan penghormatan dari pihak keluarga mempelai wanita
kepada orang semenda dan menantunya itu.
Gelar yang diberikan kepada seorang pemuda yang akan kawin, tidak sama
nilainya dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu. Gelar
penghulu adalah warisan adat yang hanya bisa diturunkan kepada
kemenakannya dalam suatu upacara besar dengan kesepakatan kaum setelah
penghuluvyang bersangkutan meninggal dunia. Tetapi gelar untuk seorang
laki-laki yang akan kawin dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu
acara adat yang khusus.
Pada umumnya gelar untuk pemuda-pemuda yang baru kawin ini diawali
dengan Sutan. Seperti Sutan Malenggang, Sutan Pamenan, Sutan Mangkuto
dsb.
Ada ketentuan adat yang tersendiri dalam menempatkan orang semenda dan
menantu-menantu dari suku lain ini dalam struktur kekerabatan
Minangkabau. Bagaimanapun para orang semenda ini, jika telah
beristerikan perempuan Minang, maka mereka itu oleh pihak keluarga
mempelai wanita ditegakkan sama tinggi dan didudukkan sama rendah dengan
menantu dan orang semendanya yang lain. Karena itu kalau sudah diterima
sebagai menantu, masuknya kedalam kekeluargaan juga harus ditetapkan
secara kokoh dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang sama. Ini sesuai
bunyi pepatah-petitih Minangkabau :
Jikok inggok mancangkam
Jikok tabang basitumpu
Artinya segala sesuatunya itu haruslah dilaksanakan secara sepenuh hati menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Nah, untuk semenda yang datang dari suku lain ini, pemberian gelar juga
tidak boleh diambilkan dari perbendaharaan gelar yang ada dalam kaum
ninik mamak mempelai wanita, karena jatuhnya nanti juga jadi perkawinan
sesuku. Tetapi dapat diambilkan dari perbendaharaan gelar yang ada di
keluarga ayah mempelai wanita atau disebut juga dari keluarga bako.
Atau bisa juga menurut prosedur yang agak berbelit yaitu calon menantu
dijadikan anak kemenakan dulu oleh ninik mamak suku lain yang bukan suku
mempelai wanita, kemudian ninik mamak suku yang lain ini memberikan
gelar adat yang ada disukunya kepada calon orang semenda itu.
Pemberian gelar untuk calon menantu inilah, baik ia orang Minang maupun
orang dari suku dan bangsa lain, yang wajib disebutkan pada waktu
berlangsungnya sambah-manyambah dalam acara manjapuik marapulai. Hal ini
ditanyakan oleh juru bicara rombongan calon mempelai pria yang menanti.
Kemudian disebutkan pula secara resmi ditengah-tengah orang ramai
setelah selesai acara akad nikah secara Islami. Inilah yang disebut
dalam pepatah petitih :
Indak basuluah batang pisang
Basuluah bulan jo matoari
Bagalanggang mato rang banyak
Pengumuman gelar mempelai pria secara resmi setelah selesai acara akad
nikah ini sebaiknya disampaikan langsung oleh ninik mamak keluarga
mempelai pria, atau bisa juga disampaikan oleh pembawa acara. Dalam
pengumuman itu disebutkan secara lengkap dari suku dan kampung mana
gelar itu diambilkan.
(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau).
2. Upacara Adat
1. Upacara Sepanjang Kehidupan ManusiaUpacara sepanjang kehidupan manusia ini dapat pula dibedakan sbb:
1. Lahir yang didahului oleh upacara kehamilan
2. Upacara Karek Pusek (Kerat pusat)
3. Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah)
4. Upacara Sunat Rasul
5. Mengaji di Surau
6. Tamat Kaji (khatam Qur’an)
Setelah melalui upacara-upacara pada masa kehamilan dan sampai lahir dan
seterusnya maka dilanjutkan dengan acara-acara semasa remaja dan
terutama sekali bagi anak laki-laki. Pada masa remaja ada pula
acara-acara yang dilakukan berkaitan dengan ilmu pengetahuan adat dan
agama. Upacara-upacara semasa remaja ini adalah sbb:
1. Manjalang guru (menemui guru) untuk belajar. Orang tua atau mamak
menemui guru tempat anak kemenakannya menuntut ilmu. Apakah guru
dibidang agama atau adat. Anak atau keponakannya diserahkan untuk
dididik sampai memperoleh ilmu pengetahuan yang diingini.
2. Balimau. Biasanya murid yang dididik mandi berlimau dibawah
bimbingan gurunya. Upacara ini sebagai perlambang bahwa anak didiknya
dibersihkan lahirnya terlebih dahulu kemudian diisi batinnya dengan ilmu
pengetahuan.
3. Batutue (bertutur) atau bercerita. Anak didik mendapatkan
pengetahuan dengan cara gurunya bercerita. Di dalam cerita terdapat
pengajaran adat dan agama.
4. Mengaji adat istiadat. Didalam pelajaran ini anak didik mendapat
pengetahuan yang berkaitan dengan Tambo Alam Minangkabau dan Tambo Adat.
5. Baraja tari sewa dan pancak silek (belajar tari sewa dan pencak
silat). Untuk keterampilan dan ilmu beladiri maka anak didik berguru
yang sudah kenamaan.
6. Mangaji halam jo haram (mengaji halal dengan haram). Pengetahuan ini berkaitan dengan pengajaran agama.
7. Mengaji nan kuriek kundi nan merah sago, nan baiek budi nan indah
baso (mengaji yang kurik kundi nan merah sago, yang baik budi nan indah
baso), pengajaran yang berkaitan dengan adat istiadat dan moral.
Setelah dewasa maka upacara selanjutnya adalah upacara perkawinan. Pada
umumnya masyarakat Minangkabau beragama Islam, oleh karena itu dalam
masalah nikah kawin sudah tentu dilakukan sepanjang Syarak. Dalam
pelaksanaan nikah kawin dikatakan “nikah jo parampuan, kawin dengan
kaluarga”. Dengan pengertian ijab kabul dengan perantaraan walinya
sepanjang Syarak, namun pada hakekatnya mempertemukan dua keluarga
besar, dua kaum, malahan antara keluarga nagari. Pada masa dahulu
perkawinan harus didukung oleh kedua keluarga dan tidak membiarkan atas
kemauan muda-mudi saja. Dalam proses perkawinan acara yang dilakukan
adalah sbb:
1. Pinang-maminang (pinang-meminang)
2. Mambuek janji (membuat janji)
3. Anta ameh (antar emas), timbang tando (timbang tando)
4. Nikah
5. Jampuik anta (jemput antar)
6. Manjalang, manjanguak kandang (mengunjungi, menjenguk kandang).
Maksudnya keluarga laki-laki datang ke rumah calon istri anaknya
7. Baganyie (merajuk)
8. Bamadu (bermadu)
Dalam acara perkawinan setiap pertemuan antara keluarga perempuan dengan
keluarga laki-laki tidak ketinggalan pidato pasambahan secara adat.
Akhir kehidupan di dunia adalah kematian. Pada upacara yang berkaitan
dengan kematian tidak terlepas dari upacara yang berkaitan dengan adat
dan yang bernafaskan keagamaan. Acara-acara yang diadakan sebelum dan
sesudah kematian adalah sbb:
1. Sakik basilau, mati bajanguak (sakit dilihat, mati dijenguk)
2. Anta kapan dari bako (antar kafan dari bako)
3. Cabiek kapan, mandi maik (mencabik kafan dan memandikan mayat)
4. Kacang pali (mengantarkan jenazah kek kuburan)
5. Doa talakin panjang di kuburan
6. Mengaji tiga hari dan memperingati dengan acara hari ketiga,
ketujuh hari, keempat puluh hari, seratus hari dan malahan yang keseribu
hari. Pada masa dahulu acara-acara ini memerlukan biaya yang besar
Upacara yang berkaitan dengan perekonomian seperti turun kesawah, membuka perladangan baru yang dilakukan dengan upacara-upacara adat. Untuk turun kesawah secara serentak juga diatur oleh adat. Para pemangku adat mengadakan pertemuan terlebih dahulu, bila diadakan gotong royong memperbaiki tali bandar dan turun kesawah. Untuk menyatakan rasa syukur atas rahmat yang diperoleh dari hasil pertanian biasanya diadakan upacara-upacara yang bersifat keluarga maupun melibatkan masyarakat yang ada dalam kampung. Pada masa dahulu diadakan pula upacara maulu tahun (hulu tahun), maksudnya pemotongan padi yang pertama sebelum panen keseluruhan. Diadakan upacara selamatan dengan memakan beras hulu tahun ini. Upacara dihadiri oleh Ulama dan Ninik mamak serta sanak keluarga. Adapun acara yang berkaitan dengan turun kesawah ini adalah sbb:
1. Gotong royong membersihkan tali bandar
2. Turun baniah, maksudnya menyemaikan benih
3. Turun kasawah (turun ke sawah)
4. Batanam (bertanam)
5. Anta nasi (megantarkan nasi)
6. Basiang padi (membersihkan tanaman yang mengganggu padi)
7. Tolak bala (upacara untuk menolak segala malapetaka yang mungkin menggagalkan pertanian)
8. Manggaro buruang (mengusir burung)
9. Manuai (menuai), manyabik padi (potong padi)
10. Makan ulu tahun (makan hulu pertahunan)
11. Tungkuk bubuang (telungkup bubung)
12. Zakat.
3. Upacara Selamatan
Dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat banyak ditemui upacara selamatan. Bila diperhatikan ada yang sudah diwarisi sebelum Islam masuk ke Minangkabau. Doa selamat ini untuk menyatakan syukur atau doa selamat agar mendapat lindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa upacara yang termasuk doa selamatan ini seperti :
1. Upacara selamatan atas kelahiran, turun mandi, bacukua (bercukur), atau memotong rambut pertama kali.
2. Upacara selamatan dari suatu niat atau melepas nazar. Sebagai contoh setelah sekian lama sakit dan si sakit kemudian atau keluarganya berniat bila seandainya sembuh akan dipanggil orang siak dan sanak famili untuk menghadiri upacara selamatan.
3. Selamat pekerjaan selesai.
4. Selamat pulang pergi naik haji
5. Selamat lepas dari suatu bahaya
6. Selamat hari raya
7. Selamat kusuik salasai, karuah manjadi janiah (selamat kusut selesai, keruh menjadi jernih). Upacara selamat diadakan karena adanya penyelesaian mengenai suatu permasalahan baik yang menyangkut dengan masalah kekeluargaan maupun yang menyangkut dengan adat.
8. Maulud nabi.
9. dll
Dengan banyaknya upacara yang dilakukan dalam masyarakat Minangkabau secara tidak langsung juga sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat dan juga dalam alih generasi yang berkaitan dengan adat dan agama di Minangkabau.
3. P E N G H U L U
•1. Arti PenghuluSetelah nenek moyang orang Minang mempunyai tempat tinggal yang tetap maka untuk menjamin kerukunan, ketertiban, perdamaian dan kesejahteraan keluarga, dibentuklah semacam pemerintahan suku.
Tiap suku dikepalai oleh seorang Penghulu Suku.
Hulu artinya pangkal, asal-usul, kepala atau pemimpin. Hulu sungai artinya pangkal atau asal sungai yaitu tempat dimana sungai itu berasal atau berpangkal. Kalang hulu artinya penggalang atau pengganjal kepala atau bantal.
Penghulu berarti Kepala Kaum
Semua Penghulu mempunyai gelar Datuk Datuk artinya ” Orang berilmu - orang pandai yang di Tuakan” atau Datu-datu.
Kedudukan penghulu dalam tiap nagari tidak sama. Ada nagari yang penghulunya mempunyai kedudukan yang setingkat dan sederajat. Dalam pepatah adat disebut “duduk sama rendah tegak sama tinggi”. Penghulu yang setingkat dan sederajat ini adalah di nagari yang menganut “laras” (aliran) Bodi-Caniago dari keturunan Datuk Perpatih nan Sabatang. Sebaliknya ada pula nagari yang berkedudukan penghulunyu bertingkat-tingkat yang didalam adat disebut “Berjenjang naik bertangga turun”, yaitu para Penghulu yang menganut laras (aliran) Koto - Piliang dari ajaran Datuk Katumanggungan.
Balai Adat dari kedua laras ini juga berbeda. Balai Adat dari laras Bodi Caniago dari ajaran Datuk Perpatih nan Sabatang lantainya rata, melambangkan “duduk sama rendah - tegak sama tinggi”.
Balai Adat dari laras Koto Piliang yang menganut ajaran Datuk Katumanggungan lantainya mempunyai anjuang di kiri kanan, yang melambangkan kedudukan Penghulu yang tidak sama, tetapi “berjenjang naik - batanggo turun”.
Kendatipun kedudukan para penghulu berbeda di kedua ajaran adat itu, namun keduanya menganut paham demokrasi. Demokrasi itu tidak ditunjukkan pada cara duduknya dalam persidangan, dan juga bentuk balai adatnya yang memang berbeda, tetapi demokrasinya ditentukan pada sistem “musyawarah - mufakat”. Kedua sistem itu menempuh cara yang sama dalam mengambil keputusan yaitu dengan cara “musyawarah untuk mufakat”.
2. Kedudukan dan peranan penghulu
Di dalam pepatah adat disebut;
Luhak Bapanghulu
Rantau barajo
Hal ini berarti bahwa penguasa tertinggi pengaturan masyarakat adat di daerah Luhak nan tigo - pertama Luhak Tanah Datar - kedua Luhak Agam dan ketiga Luhak 50-Koto berada ditangan para penghulu. Jadi penghulu pemegang peranan utama dalam kehidupan masyarakat Adat.
Pepatah merumuskan kedudukan dan peranan penghulu itu sebagai berikut;
Nan tinggi tampak jauh Yang tinggi tampak jauh
Nan gadang jolong basuo Yang besar mula ketemu
Kayu gadang di tangah padang Pohon besar di tengah padang
Tampek balinduang kapanasan Tempat berlindung kepanasan
Tampek bataduah kahujanan Tempat berteduh kehujanan
Ureknyo tampek baselo Uratnya tempat bersila
Batangnyo tampek basanda Batangnya tempat bersandar
Pai tampek batanyo Pergi tempat bertanya
Pulang tampek babarito Pulang tempat berberita
Biang nan akan menambuakkan Biang yang akan menembus
Gantiang nan akan mamutuihkan Genting yang akan memutus
Tampek mangadu sasak sampik Tempat mengadu kesulitan
Dengan ringkas dapat dirumuskan kedudukan dan peranan Penghulu sebagai berikut;
Sebagai pemimpin yang diangkat bersama oleh kaumnya sesuai rumusan adat
Jadi Penghulu sakato kaum
Jadi Rajo sakato alam
Sebagai pelindung bagi sesama anggota kaumnya.
Sebagai Hakim yang memutuskan semua masalah dan silang sengketa dalam kaumnya.
Sebagai tumpuan harapan dalam mengatasi kehidupan kaumnya.
3. Syarat-syarat untuk menjadi Penghulu
Baik buruknya keadaan masyarakat adat akan ditentukan oleh baik buruknya Penghulu dalam menjalankan keempat fungsi utamanya diatas.
Pepatah menyebutkan sebagai berikut;
Elok Nagari dek Penghulu
Elok tapian dek nan mudo
Elok musajik dek Tuanku
Elok rumah dek Bundo Kanduang.
Oleh karena Penghulu mempunyai tugas yang berat dan peranan yang sangat menentukan dalam masyarakat adat, maka dengan sendirinya yang harus diangkat jadi penghulu itu, adalah orang yang mempunyai “bobot” atas sifat-sifat tertentu.
Perlu dicatat disini bahwa Adat Minang secara mutlak menetapkan bahwa penghulu hanya pria dan tidak boleh wanita. Disini jelas dan mutlak pula bahwa sistem kekerabatan matrilinial tidak dapat diartikan dengan “wanita yang berkuasa”. Satu dan lain karena keempat unsur utama seorang penghulu seperti sebagai Pemimpin, Pelindung, Hakim dan Pengayom yang merupakan unsur-unsur yang sangat dominan dalam menentukan “kekuasaan”, berada di tangan pria yaitu di tangan penghulu yang justru mutlak seorang pria itu.
Pepatah adat menetapkan sifat-sifat orang yang disyaratkan menjadi penghulu itu adalah sebagai berikut;
Nan cadiak candokio Yang cerdik cendekia
nan arif bijaksano Yang arif bijaksana
nan tau diunak kamanyangkuik Yang tahu duri yang akan menyangkut
nan tau dirantiang kamancucuak Yang tahu ranting yang akan menusuk
Tau diangin nan basiru Tahu angin yang melingkar
Tau di ombak nan badabua Tahu ombak yang berdebur
Tau dikarang nan baungguak Tahu karang yang beronggok
Tau dipasang turun naiak Tahu pasang turun naik
Tau jo ereng gendeng Tahu sindiran tingkah polah
Tau dibayang kato sampai Tahu bayangan ujud kata
Alun bakilek lah bakalam Belum dijelaskan sudah paham
Sakilek ikan dalam aie Selintas ikan dalam air
Jaleh jantan batinyo Jelas sudah jantan betinanya
Tau di cupak nan duo Tahu dengan undang-undang yang dua puluh
Paham di Limbago nan sapuluah. Tahu dengan lembaga hukum yang sepuluh.
Dapat disimpulkan terdapat 4 (empat) syarat utama untuk dapat diangkat menjadi Penghulu diluar persyaratan keturunan sebagai berikut;
Berpengetahuan dan mempunyai kadar intelektual yang tinggi atau cerdik pandai.
Orang yang arif bijaksana.
Paham akan landasan pikir dan Hukum Adat Minang.
Hanya kaum pria yang akil-balig, berakal sehat.
Pakaian penghulu melambangkan sifat-sifat dan watak yang harus dipunyai oleh seorang penghulu. Arti kiasan yang dilambangkan oleh pakaian itu digambarkan oleh Dt. Bandaro dalam bukunya “Tambo Alam Minangkabau” dalam bahasa Minang sebagai berikut;
a. Destar
Niniek mamak di Minangkabau Niniek mamak di Minangkabau
Nan badeta panjang bakaruik Yang berdestar panjang berkerut
Bayangan isi dalam kuliek Bayangan isi dalam kulit
Panjang tak dapek kito ukue Panjang tak dapat kita ukur
Leba tak dapek kito belai Lebar tak dapat kita sambung
Kok panjangnyo pandindiang korong Panjangnya pendinding kampung
Leba pandukuang anak kamanakan Lebarnya pendukung anak kemenakan
Hamparan di rumah tanggo Hamparan di rumah tangga
Paraok gonjong nan ampek Penutup gonjong yang empat
Tiok liku aka manjala Tiap liku akal menjalar
Tiok katuak ba undang undang Tiap lipatan berundang-undang
Dalam karuik budi marangkak Dalam kerutan budi merangkak
Tambuak dek paham tiok lipek Tembus karena paham tiap lipatan
Manjala masuak nagari. Menjalar masuk negeri.
b. Baju
Babaju hitam gadang langan Berbaju hitam berlengan lebar
Langan tasenseng tak pambangih Lengan tersingsing tak pemarah
Pangipeh angek naknyo dingin Pengipas panas supaya dingin
Pambuang nan bungkuak sarueh Pembuang yang bungkuk seruas
Siba batanti timba baliek Pinggiran berenda timbal balik
Gadang barapik jo nan ketek Besar berimpit dengan yang kecil
Tando rang gadang bapangiriang Tandanya orang besar berpengiring
Tatutuik jahit pangka langan Tertutup jahitan pangkal lengan
Tando membuhue tak mambuku Tandanya membuhul tak mengesan
Tando mauleh tak mangasan Tandanya menyambung tak kentara
Lauik tatampuah tak berombak Laut ditempuh tak berombak
Padang ditampuah tak barangin Padang ditempuh tak berangin
Takilek ikan dalam aie Terlintas ikan dalam air
Lah jaleh jantan batinonyo Sudah jelas jantan betinanya.
Lihienyo lapeh tak bakatuak Lehernya lepas tak berkatup
Tando pangulu padangnyo lapang Tandanya penghulu padangnya lapang
alamnyo leba alamnya lebar (lapang dada/sabar)
Indak basaku kiri jo kanan Tidak bersaku kiri dan kanan
Tandonyo indak pangguntiang Tandanya bukan penggunting dalam
dalam lipatan lipatan
Indak panuhuak kawan seiriang Bukan penohok kawan seiring.
c. Sarawa
Basarawa hitam ketek kaki Bercelana hitam kecil kaki
kapanuruik alue nan luruih untuk menurut alur yang lurus
panampuah jalan nan pasa untuk menempuh jalan yang wajar
ka dalam korong jo kampuang ke dalam korong kampung
sarato koto jo nagari serta koto dan negeri
Langkah salasai baukuran Langkah bebas berukuran
martabat nan anam membatasi martabat yang enam membatasi
murah jo maha ditampeknyo murah dan mahal ditempatnya
ba ijo mako bakato di eja baru berkata
ba tolam mako bajalan di agak baru berjalan
d. Kain Sarung
Sarung sabidang ateh lutuik Sarung sebidang atas lutut
patuik senteng tak bulieh dalam Pantasnya pendek tak boleh panjang
patuik dalam tak bulieh senteng Pantasnya panjang tak boleh pendek
karajo hati kasamonyo Kerja hati semuanya
mungkin jo patuik baukuran Mungkin dan patut berukuran
murah jo maha ditampeknyo Murah dan mahal ditempatnya
e. Karih
Sanjatonyo karih kabasaran Senjatanya keris kebesaran
samping jo cawek nan tampeknyo sesamping dan cawat yang tempatnya
sisiknyo tanaman tabu sisiknya tanaman tebu
lataknyo condong ka kida letaknya miring ke kiri
dikesong mako dicabuik dikisar baru dicabut
Gembonyo tumpuan puntiang Hulunya tumpuan puntiang
Tunangannyo ulu kayu kamat Tunangannya hulu kayu kamat
bamato baliak batimba bermata timbal balik
tajamnyo bukan alang kapalang tajamnya bukan alang kepalang
tajamnyo pantang melukoi tajamnya pantang melukai
mamutuih rambuik diambuihkan putus rambut ditiupkan
Ipuahnyo turun dari langit Racunnya turun dari langit
bisonyo pantang katawaran bisanya pantang berpenawar
jajak ditikam mati juo jejak ditikam mati juga
ka palawan dayo rang aluih untuk melawan kekuatan gaib
ka palunak musuh di badan untuk pelunak musuh didiri
bagai papatah gurindam adat bagai pepatah gurindam adat
Karih sampono Ganjo Erah Keris sempurna Ganja Erah
lahie bathin pamaga diri Lahir batin pemagar diri
Kok patah lidah bakeh Allah Kalau patah lidah kepada Tuhan
patah karih bakeh mati Patah keris berarti mati
f. Tungkek
Pamenannyo tungkek kayu kamat Mainannya tongkat kayu kamat
ujuang tanduk kapalo perak Ujung tanduk kepala perak
panungkek adat jo pusako penopang adat dan pusaka
Gantang nak tagak jo lanjuangnyo Gantang supaya tegak dengan bubungannya
sumpik nan tagak jo isinyo karung supaya tegak dengan isinya
5. Peringatan bagi Penghulu
Falsafah pakaian rang penghulu Falsafah pakaian bagi penghulu
Di dalam luhak ranah Minang Di dalam luhak Ranah Minang
Kalau ambalau meratak ulu Kalau ambalau meretak hulu
Puntiang tangga mato tabuang Tangkai lepas mata terbuang
Kayu kuliek mengandung aie Kayu kulit mengandung air
Lapuknyo sampai kapanguba Lapuknya sampai kepenguba (inti)
Binaso tareh nan di dalam Binasa teras yang di dalam
Kalau penghulu berpaham caie Kalau penghulu berpaham cair
Jadi sampik alam nan leba Jadi sempit alam yang lebar
Dunia akhirat badan tabanam Dunia akhirat badan terbenam
Elok nagari dek pangulu Elok negeri karena penghulu
Rancak tapian dek nan mudo Cantik tepian karena yang muda
Kalau kito mamacik ulu Kalau kita memegang hulu
Pandai menjago puntiang jo mato Pandai menjaga tangkai dan mata
Petitih pamenan andai Petitih mainan andai
Gurindam pamenan kato Gurindam mainan kata
Jadi pangulu kalau tak pandai Jadi penghulu kalau tak pandai
Caia nagari kampung binaso Hancur negeri kampung binasa
Adat ampek nagari ampek Adat empat negeri empat
Undangnyo ampek kito pakai Undangnya empat kita pakai
Cupak jo gantang kok indak dapek Cupak dan gantang kalau tak dapat
Luhak nan tigo tabangkalai Luhak yang tiga terbengkalai
Payakumbuah baladang kunik Payakumbuh berladang kunir
Dibao urang ka Kuantan Dibawa orang ke Kuantan
Bapantang kuning dek kunik Pantang kuning karena kunir
Tak namuah lamak dek santan Tak ingin enak karena santan
Sambah-manyambah adalah satu tata cara menurut adat istiadat Minangkabau, yang mengatur tata tertib dan sopan santun pembicaraan orang dalam sebuah pertemuan. Kata-kata sambah yang dalam bahasa Indonesia berarti sembah, diambil dari semacam sikap awal yang dilakukan oleh setiap orang yang akan melaksanakan pasambahan. Sebelum memulai pembicaraannya ia harus terlebih dahulu mengangkat dan mempertemukan kedua telapak tangannya lurus diantara kening dan hidung bagaikan orang menyembah. Begitu pula sebaliknya sikap yang dilakukan lawan bicara ketika menerima sembah.Sikap ini saja sudah menjelaskan intu hakikat dari acara tersebut, yaitu bagaimana masing-masing pihak yang bertemu dalam satu pertemuan bisa saling menghormati saling memperlihatkan adat sopan santun dan budi bahasa yang baik, termasuk dalam mengatur kata-kata yang akan diucapkan. Dan dalam sambah-manyambah ini bahasa Minang yang dipergunakan memang agak berbeda dengan bahasa yang diucapkan orang sehari-hari. Bahasa yang dipakai diambil dari bahasa kesusasteraan Minang lama yang liris prosais, penuh pepatah petitih dan dalam kalimat-kalimatnya banyak menjajarkan berbagai ungkapan dan sinonim untuk mempertegas maksud yang disampaikan.
Didalam aturan adat Minangkabau, tata cara sambah manyambah ini justru diletakkan sebagai lembaga pertama tentang adab sopan santun basa basi yang harus dilakukan oleh setiap orang yang bertemu dalam satu musyawarah. Sebagaimana gurindam adat menyebut :
Tasasak putiang ka hulu
Dibawah kiliaran taji
Aso mulo rundiang dahulu
Tigo limbago nan tajali
Partamo sambah manyambah, kaduo baso jo basi, katigo siriah jo pinang. Sambah manyambah dalam adaik, tali batali undang-undang, tasabuik bamuluik manih, muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia, pandai batimbang baso-basi, pandai bamain ereng gendeng, di dalam adaik nan bapakai, banamo adaik sopan santun.
Tiga Tingkat Pasambahan
Untuk zaman sekarang dengan mobilitas dan dinamika kehidupan yang begitu tinggi, terutama bagi orang-orang yang sudah biasa dikejar-kejar waktu dikota-kota besar, mendengarkan orang melakukan sambah-manyambah dalam bentuknya yang masih asli seperti yang terdapat dikampung-kampung di Sumatera Barat, sering mengundang kebosanan karena panjang dan lamanya.
Namun menurut tata cara sambah-manyambah tidak ada peraturan yang menetapkan bahwa orang yang akan melakukan pasambahan harus bisa melafaskan tambo, yaitu sejarah nenek moyang dan pepatah petitih Minang didalam pembicaraannya. Karena tujuannya yang utama adalah untuk melihatkan basa-basi sopan-santun. Jika sikap itu sudah tidak tercermin dalam tiga-empat kalimat prosais yang disampaikan secara tepat, maka itupun sudah sah disebut sebagai pasambahan.
Didalam tata cara sambah-manyambah disebutkan ada tiga macam tingkat pasambahan dengan tiga macam gaya yang dapat dilakukan dalam tiga acara yang berbeda pula.
Pertama, pidato adat, kedua pasambahan penghulu dan ketiga pasambahan pangka batang.
Pidato adat. Ini adalah tingkat yang paling tertinggi yang umumnya cuma dikuasai oleh para ahlinya dikalangan Penghulu Pucuk. Pembicara bukan saja sangat mengetahui tentang Undang-undang dan Hukum Adat Minangkabau tetapi juga sangat hafal mengenai tambo dan sejarah serta sangat fasih menyebut pepatah petitih lama. Penyampaian kalimat-kalimatnya pun selain mengikuti gaya liris prosais Minang dengan empat-empat suku kata tiap kalimat, sering juga mampu membawakannya dalam gaya setengah senandung.
Pidato adat ini biasanya ditampilkan dalam musyawarah-musyawarah besar para penghulu yang diadakan dibalairung adat. Yang menguasai gaya dan kemahiran ini nampaknya sekarang ini tidak banyak lagi bisa ditemukan di Sumatera Barat.
Pasambahan Penghulu. Walaupun kemampuan melakukan pasambahan penghulu ini dahulunya merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghulu adat, tapi kenyataan sekarang tidak semua orang Minang yang menyandang gelar Datuk bisa melakukannya. Beberapa acara sesuai dengan siklus kehidupan manusia sejak dari kelahiran sampai kematian, terutama yang menyangkut kehidupan seorang penghulu, di Minangkabau upacaranya juga harus dilakukan oleh para penghulu. Akan sangat janggal rasanya jika di dalam upacara semacam itu ada penghulu yang tidak mampu melakukan pembicaraan dalam gaya pasambahan. Sehingga lahir idiom lama yang mengatakan Indak panghulu manulak sambah.
Apalagi dalam upacara pengangkatan seorang atau sejumlah penghulu baru yang sering dilakukan secara istimewa di kampung-kampung, maka kemahiran seorang Datuk dalam sambah-manyambah akan sangat teruji di gelanggang tsb. Malah sering kali gelanggang semacam itu menjadi ajang bagi para penghulu untuk saling memperagakan kemahiran masing-masing.
Untuk acara adat batagak penghulu inilah, tata cara sambah-manyambah memang diharuskan untuk mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai dengan peraturan yang berlaku menurut luhak adat masing-masing. Dan sering bagi orang awam nampak panjang bertele-tele, karena tidak mengerti peraturannya.
Setiap pembicaraan harus disampaikan kepada sejumlah orang yang menerima pembicaraan harus selalu mengulangi pembicaraan orang itu, setiap menyampaikannya kepada orang lain lagi. Dan pemulangan jawabannya pun harus melalui siklus yang sama sehingga sampai kembali kepada pembicara pertama. Inilah yang didalam pepatah-petitih disebut :
Lamak kato dipakatokan,
Lamak samba dikunyah-kunyah,
Bakato indak sadang sapatah,
Bajalan indak sadang salangkah
Pasambahan Pangka Batang. Ini adalah gaya bahasa pasambahan yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Dan bisa ditampilkan dalam acara-acara lain yang bukan acara batagak penghulu misalnya seperti dalam acara perkawinan. Menurut kebiasaan yang berlaku sejak dulu di Minangkabau, kewajiban untuk melakukan sambah-manyambah dalam acara perkawinan tidaklah terpikul kepada Datuk-datuk tetapi merupakan kewajibana para menantu atau orang-orang semenda baru yang ada di atas rumah. Mereka inilah yang lazim diberi tugas untuk menjemput calon mempelai pria, dan akrena itu pulalah mereka harus menguasai tata tertib berbicara menurut alur persembahan walaupun secara sederhana. Tata cara yang sederhana inilah yang didalam kategori sambah manyambah disebut pangka batang. Artinya menguasai bagian-bagian yang pokok saja.
Pengertian pokok disini, adalah dalam cara menyampaikan maksud dan tujuan. Pembicara tidaklah perlu harus mengungkapkan tambo sejarah nagari, hukum adat dll yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan maksud dan tujuan pembicaraan. Tetapi kalimat-kalimat yang menyiratkan keramahan, tata tertib, basa basi dan sopan santun, tetap harus dipertahankan sesuai dengan esensi adat sambah manyambah itu sendiri.
(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)