Benar atau tidaknya kisah ini, tidak begitu penting. Cerita dari
mulut ke mulut menghasilkan ” KABA”. Dalam dialektika Minangkaba, maka
si Tukang Kaba, akan mengisahkan sesuatu apa yang ia ketahui – ia
dengar dan kemudian ia pahami. Kemduian Kisah di nukilkan dalam bahasa
serta kiasan yang tinggi.
Bertitik tolah dari perangkat hukum adat, yang menempatkan kaum
wanita dimuliakan secara adat, maka Bundokanduang selalu menjadi tokoh
dalam suatu peristiwa. Bundokanduang menjadi figur dan di identifikasi
sebagai pilar dan tiang utama dalam sistem sosial kemasayarakatan.
Dari berbagai versi tentang bundokanduang, baik dari Pagaruyung
maupun dari Lunang, dapat kita simpulkan bahwa Bundokanduang itu ada
disetiap ka Nagarian atau wilayah Minangkabau. Jika ada seorang wanita
yang memiliki keunggulan – kharismatik – dimuliakan secara adat dalam
satu kekerabatan atau didalam suatu trah tertentu, maka Bundokanduang
itu tetap akan hidup sebagai simbol dan orang yang berpengaruh sebagai
kharisma wanita minangkabau.
Bundokanduang :
Pada serangkaian cerita Cinduamato, tersebutlah nama Bundo Kandung
sebagai ibu dari Dang Tuangku. Akan halnya Bundo Kanduang yang seiring
disebut ujud seorang perempuan dalam kerajaan Minangkabau. Barangkali
ini merupakan sebuah ungkapan terhormat kepada seorang wanita.
Seperti tersebut dalam kisah Cindurmato, suatu kali cucu Raja
Mauliwarman Dewa, datang ke Luhak nan Tuo, Tanah Datar. Mereka adalah
tiga kakak beradik, yang tua Kambang Daro Marani (14 tahun), Indo dewa (
12 tahun) dan yang bungsu Kambang Daro Bandari (10 tahun). Kunjungan
mereka ini, disertai para dubalang dan inang pengasuh yang seluruhnya
berjumlah 45 orang. Salah seorang yang terkenal dalam rombangan ini
adalah Andiko Panjang Gombak (45 tahun), yang bertugas sebagai kepala
rombongan dan sekaligus pengawal setia tiga kakak beradik tadi.
Melihat indahnya alam, bersahabatnya masyarakat, maka timbullah
hasrat dari tiga kakak beradik ini, untuk menetap di ranah bundo.
Keinginan itu disampaikan oleh Andiko Panjang Gombak di dalam pertemuan
Limbago Alam di Balai Adat Datuak Bandaro Sungai Tarab. Pertemuan ini
membawa arti penting terhadap gerak langkah perjalanan sejarah
Minangkabau selanjutnya.
Musyawarah Limbago Alam yang dihadiri, oleh seluruh anggota
perwakilannya di Sungai Tarab ini membuahkan tiga butir mufakat, yaitu:
Petama. Basa Tigo Balai dikembangkan menjadi Basa Ampek Balai terdiri
dari, Datuak Bandaro dari Sungai Tarab sebagai Payung Panji Koto
Piliang, Datuak Indomo dari Saru Aso sebagai Amban Purut Koto Piliang ,
Tuan Gadang dari Bhakti Sapuluah sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dan
Datuak Makhudum dari Sumaniak sebagai Pasak Kunci Koto Piliang.
Kedua. Limbago Alam menunjuk Andiko Panjang Gombak sebagai ketua kehormatannya.
Ketiga. Kambang Daro Marani, Indodewa dan Kambang Daro Bandari,
sebagai anak kemanakan Limbago Alam, akan dibangunkan sebuah rumah
gadang di Gudam Kambang Bungo (Pagaruyung).
Hasil mufakat Limbago Alam ini, disampaikan pula kepada Majilih
Kerapatan Adat Alam Minangkabau pada pertemuannya di Medan Taduah Bukit
Gombak. Semua anggota perwakilan Majilih menyetujui dan merestui
keputusan Limbago Alam tersebut.
Setehun setelah tiga kakak beradik itu tinggal di Luak nan Tuo, rumah
gadang atau istano yang dibangun di ranah Kambang Bungo, telah berdiri
dengan megahnya. Seluruh bahan bangunannya, adalah sumbangan masyarakat
Luhak nan Tigo. Di halamannya berderet pula tiga rangkiang dengan
anggun. Perlengkapan rumah gadang seperti lapik baludu, kelambu suto,
cawan dan pinggan, cibuk dan bermacam perhiasan mas dan intan
dihadiahkan oleh dangsanak belahan diri yang bermukim di pesisir dan
rantau.
Tujuh tahun kemudian, Andiko Panjang Gombak mendapat kecaman dari
bebagai lapisan masyarakat Minangkabau. Saat itu Kambang Daro Marani
yang sedang menginjak umur 21 tahun, dinikahi oleh Andiko Panajang
Gombak secara diam-diam tanpa diumumkan secara adat kepada kalayak
ramai. Sewaktu Kambang Daro Marani hamil tiga bulan, masyarakat melalui
limbago-limbago adatnya menuduh Andiko melakukan perbuatan yang tidak
senonoh yang melanggar adat.
Andiko membela diri. Dia mengatakan pernikahannya dilakukan di Bhakti
Sapuluah, di istano Tuan Gadang secara resmi. Limbago adat tetap pada
pendirian mereka: Andiko dianggap bersalah karena melakukan pernikahan
tidak bersuluh matahari dan bergelanggang mata orang banyak, sebagaimana
ditetapkan oleh adat. Sebelum hukuman dijatuhkan, Andiko menebus
kesalahanya di lapangan Bukit Gombak dengan memotong sepuluh ekor kerbau
untuk menjamu perwakilan Limbago Adat dan seluruh anak nagari yang
berkenan hadir.
Pada saat itu secara tulus Andiko mengakui, bahwa dia telah berbuat
sumbang karena melanggar aturan adat. Selanjutnya bersamaan dengan
penyesalan Andiko, masyarakat Minangkabau pun memberikan maaf dengan
tulus pula. Hasil pernikahan ini kemudian melahirkan Romandung yang
bergelar Dang Tuanku.
Akan tetapi, empat belas bulan kemudian, Andiko Panjang Gombak
kembali melakukan kesalahan yang sama. Dia secara diam-diam juga
menikahi Kambang Daro Bandari, adik kandung Kambang Daro Marani.
Limabago Adat dan rakyat kembali marah besar kepada Andiko. Panjang
Gombak dinilai tidak lagi bertingkah laku sesuai alur dan patut. Pada
masa itu, di Minangkabau sekalipun belum diliputi agama Islam,
masyarakat sangat menentang jika seorang laki-laki mengawini dua
perempuan kakak beradik yang masih sama-sama hidup. Masyarakat tidak
lagi melihat Andiko Panjang Gombak sebagai seorang yang berpijak di bumi
Ranah Minang, karena itu dia harus dibuang sepanjang adat.
Andiko kembali membela diri. Dia menjelaskan, bahwa perbuatannya
tersebut disokong oleh Kambang Daro Marani demi melanjutkan keturunan di
istano Pagaruyung. Dan Andiko juga meyakinkan bahwa apa yang dia
lakukan sudah seizin tetua adat di Darmasraya.
Akhirnya, Andiko kembali mengsisi adat. Kali ini di istano Pagaruyung
jamuan makan seperti dulu dilangsungkan. Limbago Adat pun kembali
memaafkan Andiko dengan perinsip: Salah kepda manusia minta maaf, salah
kepada adat mengisinya. Akan tetapi, sehari setelah upacara adat itu
selesai Indodewa, yang satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara,
meninggalkan Pagaruyung menuju Darmasraya dan bersumpah tidak akan
pernah kembali lagi. Namun, sebagaimana diceritakan, dari pernikahan
inilah lahirnya Cidurmoto.
Setelah sama-sama melahirkan anak dari Andiko Panjang Gombak, Kambang
Daro Marani berubah nama jadi Bundo Kanduang dan Kambang Daro Bandari
jadi Bundo Kambang.
Lebih kurang 23 tahun kemudian, perang pun berkecamuk antara pasukan
Imbang Jayo dari Sungai Ngiyang –sebuah kerajaan kecil di Selatan
Minangkabau, dengan tentara Pagaruyung. Pertikaian yang tak kunjung
berkesudahan ini, dipicu oleh api cemburu yang selalu membakar hati
Imbang Jayo yang gagal mempersunting Puti Bungsu, tersebab gadis itu
dilarikan oleh Cindurmato anak Raja Pagaruyung.
Ayah dari Imbang Jayo yang bernama Raja Tiang Bungkuk dari Kerajaan
Sungai Ngiyang, juga mendukung dendam si anak. Pagaruyung pun akhirnya
menuai badai.
Sesaat perang kelihatan seperti reda. Tibalah masanya, empat anggota
Basa Ampek Balai, berlima dengan Tuan Gadang di Batipuah, duduk bersila
di bagian tengah ruangan balairung, istano Pagaruyunag. Bundo Kanduang
dan Bundo Kambang telah duduk pula bersimpuh dilantai anjung ujung
utara. Di kiri kanan mereka duduk bersila Romandung dan Cindurmato.
Cindurmato baru saja kembali dari Inderapura dua hari sebelumnya.
Bersama Cindurmato ikut empat lusin pemuda Inderapura.
Dalam pertemuan itu, sembah kata belum kunjung bersilang. Mereka
masih diam sambil menikmati sekapur sirih yang terkunyak dimulut
masing-masing. Adanya pancaran haru dan kentaranya silang-siur
kerut-merut di wajah Bundokanduang, membuat hati anggota Basa Ampek
Balai ikut terenyuh. Tambah lagi sikap Bundo Kambang, Romandung dan
Cindurmato yang muram, tidak seperti biasa, telah membuat suasana
balairung itu bertambah suram.
Saat itu kepada Basa Ampek Balai, Bundo Kanduang mengatakan, bahwa
dia akan pergi jauh dari Pagaruyung. Bila kelak rakyat Minangkabau
mempertanyakan kemana mereka pergi, maka katakanlah, bahwa mereka suduah
mengirap ke langit.
Mande Rubiah
Tersebut dalam satu versi sejarah, bahwa melihat gelagat Adityawarman
yang ingin memerintah secara otoriter di Minangkabau, maka keluarga
Raja Pagaryung memprotesnya secara keras.
Bentuk protes ini, adalah dengan mengirab (pindah total) dari daerah
asal menuju sebuah persembunyian. Dalam versi sejarah ini, masyarakat
Nagari Lunang, Pesisir Selatan, mengatakan, bahwa keluarga raja yang
mengirab itu, adalah keluarga Mande Rubiah yang kini mempunyai istana
khusus di daerah itu.
Pembenaran ke arah ini, diperkuat dengan beberapa bentuk peninggalan
bersejarah. Seperti adanya benda-benda kerajaan yang tersimpan rapi di
rumah Mande Rubiah hingga kini. Selain benda pusaka dari piring cawan
hingga senjata perang itu, juga terdapat di sekitar rumah Mande Rubiah,
perkuburan tua. Pada perkuburan itu konon, dimakamkan Bundo Kanduang dan
anaknya Dang Tuangku beserta istrinya Puti Bungsu. Selain itu disekitar
rumah Mande Rubiah juga terdapat, kuburan Cindua Mato, yang dikenal
dalam legenda Minang sebagai seorang parewa yang ahli siasat perang.
Mungkin nama Dang Tuangku dan Cindua Mato serta Puti Bungsu tidak
pernah ada dalam silsilah keturunan Raja Pagaruyung, seperti diakui oleh
salah seorang pewaris Kerajaan Pagaruyung, Putri Reno Raudha Taib. Akan
tetapi pembenaran yang dipakai versi ini, niat semula dari serumpun
keluarga ini untuk mengirab, yaitu untuk menghilangkan sekalian jejak,
supaya kemana mereka pergi tidak diketahui oleh Adityawarman orang yang
tidak mereka sukai.
Dilihat dari kubur Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan Puti
Bungsu yang ada di nagari Lunang, itu semuanya seperti kuburan orang
Islam, membujur ke utara dan selatan menandakan menghadap kiblat.
Keadaan ini juga bisa dihubungkan dengan kebencian sekelompok
keluarga kerajaan ini kepada Adityawarman karena mereka tidak seagama.
Sebab dalam sejarah dikatakan, adityawarman adalah penganut Budha
Mahayana, orang yang suka dengan kekerasan.
Perhitungan Tahun
Akan tetapi dalam sejarah dan Tambo Adat Minangkabau, disebutkan.
Adityawarman berada di Pagaruyung sekitar 1339-1376. Anaknya,
Ananggawarman yang masih beragama Budha memerintah (1376). Setelah itu
barulah Sultan Bakilap Alam menjadi Raja Pagaruyung, sampai pada Sutan
Usman, 1943 selaku (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung).
Jika dilihat pula keterangan yang disampaikan oleh Barkat, seorang
keluarga Mande Rubiah, hingga kini keberadaan Mande Rubiah di Lunang,
baru keturunan ke tujuh. Jika keturunan keluarga ini berumu
masing-masing 50 tahun, maka perhitungannya baru sampai pada tahun
1600-an. Dalam hal ini jelas ada perhitungan sejarah yang tercecer.
“Untuk menghimpun sejarah Minangkabau yang penuh dengan makna, ini
jelas tugas bersama untuk mempertautkannya. Sebab, sejarah suatu bangsa
bukanlah terletak pada pundak satu angkatan saja, tetapi terletak di
setiap pundak angkatan yang datang silih berganti dan bertukar tiap
sebentar. Tugas kita semualah untuk mencarinya,” kata Abdul Hamid, salah
seorang pemuka adat dari Nagari Pariangan selaku nagari tertua di
Minangkabau.
Akan halnya Mande Rubiah, kalaulah bukan karena dibuka jalan lintas
Sumbar Bengkulu dan transmigrasi di Lunang, maka tabir sejarah Rumah
Gadang Mande Rubiah tidak akan ditemukan. Salah satu bukti sejarah yang
ada hubungannya dengan Pagaruyung itu baru diketahui masyarakat secara
luas, baru pada tahun 1960-an. Sebelumnya, boleh dikatakan hanya
masyarakat Nagari Lunang dan sekitarnya saja yang tahu kalau yang
menghuni rumah gadang itu adalah keturunan Bundo Kanduang..
Siapa Bundo Kanduang kenapa dia sampai ke Lunang? Inilah sebuah
pertanyaan yang hingga sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan
sebagai acuan bagi generasi berikutnya.
Jika memang Bundo Kanduang itu identik dengan Mande Rubiah yang ada di
Lunang ini kita harus membuktikan apa yang diwarisinya sekarang, apakah
berasal dari Pagaruyung atau ada kesamaan dengan Pagaruyung. Semua itu
masih perlu pembuktian.
( Sumber www.sumbarprov.go.id) Print this page
Anda Berada Disini : Home »
sejarah bundo kanduang
sejarah bundo kanduang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)