Kerajaan Inderapura
Penulisan kerajaan Inderapura berbeda dengan kerajaan Sri Inderapura
yang berada di Negeri Siak atau Kabupaten Siak sekarang ini, yang dahulu
merupakan tempat kedudukan sultan-sultan Siak.
Kerajaan Inderapura merupakan kerajaan yang berada di wilayah
Kabupaten Pesisir Selatan sekarang, di dekat perbatasan dengan provinsi
Bengkulu dan Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah menjadi bawahan
(vazal) Kerajaan Pagaruyung. Pada prakteknya Inderapura berdiri sendiri
serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya.
Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera
mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk
terpenting Inderapura adalah lada, dan juga emas.
Dari segi usia sebenarnya kerajaan ini lebih duluan muncul daripada
kerajaan Pagaruyung tapi di kemudian hari kerajaan Pagaruyung melakukan
ekspansi ke wilayah Pesisir Bandar Sepuluh melalui Kerajaan Alam Surambi
Sungai Pagu. Dan dari segi historis geneologis, raja-raja kerajaan ini
masih bertali darah dengan raja-raja Minangkabau di Luhak Tanah Datar
yang sudah memerintah sebelum kerajaan Pagaruyung didirikan di
Pagaruyung.
Kerajaan Bukit Batu Patah
Kerajaan Bukit Batu Patah adalah kerajaan yang sudah ada di Minangkabau sebelum berdirinya Kerajaan Pagaruyung dan merupakan kelanjutan dari Kerajaan Pasumayan Koto Batu, terletak di Luhak Tanah Datar
Sejarah
Setelah adanya perkembangan masyarakat di Nagari Pariangan – karena masyarakat tummbuh dan berkembang biak dalam system social yang dikenal dengan Sistem Kelarasan, maka ditetapkanlah perluasan Nagari Pariangan itu dalam 3 wilayah yang dikenal dengan Luhak nan Tigo.Dalam masa ini diciptakan Undang-undang dalam hubungan kemasyarakatan, seperti cara sopan santun dalam pergaulan, bergaul berdua, berkawan bertiga, sekaum, sepesukuan, sekaum. Ketika Nagari Lima Kaum akhirnya melepaskan diri dari Undang-undang Simumbang Jatuh dan menciptakan hukum sendiri yang bernama Sigamak-gamak atau undang-undang Tarik Baleh (tarik balas). Hukum yang baru ini lebih lunak daripada undang-undang sebelumnya. Hal ini bermula, akibat pelaksanaan hukum yang keras di Bungo Setangkai (wilayah Pasumayan Koto Batu). Masyarakat bereaksi dan timbullah pergolakan di tengah masyarakat. Hal ini membuat seorang pertapa di Bukit Batu Patah turun tangan. Beliau bernama Sutan Nun Alam, yang masih berhubungan darah dengan Datuk Suri Dirajo.
Dengan peristiwa itu , maka reduplah wibawa kerajaan Pasumayan Koto Batu dan muncullah sebuah kerajaan baru yang bernama Kerajaan Bukit Batu Patah. Di lokasi Bukit Batu Patah terdapat makam raja-raja.
Pada masa ini, dibentuk pula system pemerintahan yang dikenal dengan Kesatuan Rajo Duo selo dan Basa Ampek Balai. Rajanya antara lain : Sutan Nun Alam kemudian digantikan oleh Run Pitualo. Selanjutnya digantikan Maharajo Indo. Ketika ia naik tahta, istana raja dipindahkan dari puncak bukit ke kaki bukit dipinggir Sungai Bungo dan di Ulak Batu Nan Dua di dalam Koto Pagaruyung.
Di zaman ini Islam sudah masuk ke wilayah ini melalui wilayah Timur.
Raja selanjutnya ialah Yang Dipatuan Sati. Beliau sudah memeluk agama Islam dan menjalankan kekuasaannya dibawah pengaruh agama Islam. Dalam perjalanan selanjutnya Kesatuan raja duo selo (dwitunggal) ditambah menjadi Raja Tigo Selo (Tritunggal). Print this page