Oleh : Hifni H. Nizhamul
Stelsel matrilineal dengan system kehidupan yang komunal, menempatkan perkawinan menjadi urusan kerabat, mulai dari :
a. Urusan mencari pasangan – manyalangkan mato – maresek,
b. Membuat persetujuan dan pelamaran – pinang meminang,
c. Pertunangan – batimbang tando
d. Perhelatan perkawinan – baralek
e. Hasil perkawinan – system kekerabatan.
Hal ini didasarkan kepada falsafah Minang yang menganggap bahwa manusia
dan individu hidup bersama-sama, sehingga masalah rumah tangga menjadi
urusan bersama pula. Masalah pribadi sepasang anak manusia yang akan
membangun mahligai rumah tangga tidak terlepas dari pengelolaan secara
bersama.
Pola perkawinan bersifat eksogami, dimana persatuan sepasang suami dan
isteri tidak menjadi lebur dalam satu rumah tangga akan tetapi
masing-masing pasangan suami isteri itu tetap berada dalam kaum
kerabatnya masing-masing. Didalam struktur eksogami, setiap orang adalah
warga kaum dan suku mereka masing-masing, meskipun telah diikat dalam
perkawinan dan telah beranak pinak pula.
Dalam
stelsel matrilini, anak yang lahir akibat perkawinan menjadi anggota
kaum sang ibu. Mengapa demikian ? karena secara kodrat alam, kelahiran
makhluk didunia ini mengacu pada induknya.
Seorang ayah tidak perlu bertanggung jawab kepada kehidupan anaknya,
karena telah ada saudara laki-laki ibunya yang akan membimbingnya dalam
kehidupan masa depannya.
Bagaimanakah sesungguhnya kondisi perkawinan eksogami yang serupa ini.
Tidakkah terjadi sengketa rumah tangga dalam kehidupan serupa ini.
Sekilas kehidupan serupa ini menunjukkan perkawinan yang semu. Namun
sesungguhnya tidak…! Karena kehidupan perkawinan yang bersifat eksogami
ini, ternyata mampu mempertahankan keharmonisan rumah tangga, yang
disebabkan bahwa perkawinan dalam adat dan budaya Minang adalah
perkawinan keluarga. Perkawinan itu memiliki tata dan cara yang sesuai
dengan falsafah yang dianutnya.
Perkawinan eksogami meletakkan para isteri pada status yang sama dengan
suaminya. Seorang wanita Minang ditengah system matriarkal serta pola
hidup komunal menyebabkan mereka tidak tergantung pada suaminya. Seorang
suami adalah tamu dirumah keluarga isterinya, ia dimanja dan dihormati,
namun ia bukanlah pemegang kuasa atas anak dan isterinya. Jika ia ingin
disanjung dan dihormati, maka seorang suami harus pandai-padai
menyesuaikan diri dikeluarga isterinya.
Perkawinan Ideal
Perkawinan ideal dilakukan, apabila terjadi perkawinan antara
keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan
ini lazim disebut ;
a. perkawinan pulang kemamak, yaitu mengawini anak mamak, atau perkawinan pulang kebako, yaitu mengawini kemenakan ayah.
Perkawinan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengawetkan hubungan
suami isteri itu agar tidak terganggu dengan permasalahan yang mungkin
timbul, karena adanya ketidak serasian antar kerabat. Ekses-ekses yang
timbul didalam keluarga yang berkaitan dengan harta pusaka dapat
dihindarkan.
Pola perkawinan serupa ini, merupakan manifestasi dari pepatah yang berbunyi ; anak dipangku- kemenakan dibimbing.
b. Perkawinan ambil mengambil; artinya kakak beradik laki-laki dan
wanita A menikah secara bersilang dengan kakak – beradik wanita B.
Tujuan perkawinan ambil mengambil ini, ialah untuk mempererat hubungan
kekerabatan ipar besan, juga untuk memperoleh suami yang pantas bagi
anak kemenakan, tanpa perlu menyelidiki asal usul calon pasangan suami
isteri itu.
c. Perkawinan awak sama awak, yang dilakukan antar orang sekorong, sekampung, se nagari atau se minangkabau.
Perkawinan seperti ini dikatakan ideal karena untuk mengukuhkan lembaga
perkawinan itu, dimana sesungguhnya struktur perkawinan yang eksogami
ini, lebih mudah rapuh karena seorang suami tidak memiliki beban dan
tanggung jawab kepada anak dan isterinya. Lain halnya jika pola awak
samo awak, maka tambah dekat hubungan awaknya, tambah kukuhlah hubungan
perkawinan itu.
Perkawinan yang kurang ideal ialah apabila salah satu pasangan
berasal dari Non minang khususnya dengan wanita non minang. Pria minang
yang menikah seperti ini , dianggap merusak struktur adat Minang, karena
;
a. anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, bukanlah suku Minangkabau.
b. Anak yang dilahirkan akan menjadi beban bagi pria minang itu, karena
seorang pria minang bertugas demi kepentingan bagi sanak saudaranya,
kaumnya, dan nagarinya.
c. Kehadiran isteri orang luar Minangkabau dianggap akan menjadi beban dalam seluruh keluarganya.
Perkawinan Pantang
Pantangan perkawinan ini telah bersifat universal, dimana pun
terjadi, misalnya perkawinan pantang dan perkawinan sumbang, yaitu :
a. Perkawinan pantang ialah ; perkawinan yang merusak sitem adat mereka,
yaitu perkawinan yang setali darah menurut stelsel matrilini.
b. Perkawinan sumbang, ialah perkawinan yang dapat merusak kerukunan social masyarakat, yaitu :
1. mengawini kaum kerabat, saudara dekat, tetangga yang telah diceraikan,
2. memper-madukan wanita sekerabat,
3. mengawini orang yang tengah dalam pertunangan.
4. Mengawini anak tiri saudara kandungnya.
Sanksi terhadap perkawinan pantang;
a. membubarkanperkawinan,
b. hukum buang, diusir, dikucilkan,
c. hukuman denda dan meminta maaf kepada semua pihak melalui suatu perjamuan dengan memotong seekor dua ekor ternak.
Ragam Perkawinan
Dalam proses terjadi perkawinan, terdapat aneka ragam perkawinan yang berlangsung pada kehidupan masyarakat, yaitu :
a. Perkawinan ganti lapik :
Perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki atau wanita yang
pasangan diantara keduanya telah meninggal dunia. Baik laki-laki maupun
wanita yang akan dinikahkan itu, merupakan saudara laki-laki/saudara
wanita itu yang telah meninggal dunia itu.
Maksudnya demi keberlangsungan persaudaraan antara kerabat pasangan
suami isteri itu sebelumnya dengan anak keturunannya. Sehingga sang anak
tidak merasa memiliki ayah atau ibu tiri orang lain.
b. perkawinan cino buto :
perkawinan ini unik sekali, karena sepasang suami isteri yang telah tiga
kali kawin cerai diperbolehkan menikah kembali dengan suaminya atau
isterinya, apabila si janda telah menikah dengan laki-laki lain lebih
dahulu.
Ragam perkawinan serupa ini, tidak lain sebagai praktek yang dilakukan
menurut perintah agama, namun apakah dalam kenyataan ini memang ada,
wallahu alam.
Tata Laksana Perkawinan
Di Ranah Minang, terdapat dua tatacara pelaksanaan perkawinan :
a. Perkawinan menurut agama (syara`). Mengucapkan akad nikah dihadapan kadhi.
Ketika tatacara menurut agama sudah diselenggarakan, sepasang suami
isteri belumlah diperbolehkan hidup serumah tangga, apabila mereka belum
melakukan pernikahan secara adat yang dikenal dengan “ baralek “.
Pada saat ini mereka melakukan “ kawin gantung atau nikah ganggang” ini,
kedua pasangan suami isteri belum diperbolehkan untuk bergaul dalam
satu rumah tangga.
b. perkawinan menurut adat, apabila telah dilakukan acara “ baralek”
yaitu perjamuan dengan mengundang seluruh kedua anggota kerabat pasangan
suami isteri itu.
Perkawinan Menurut Kerabat Perempuan
Jika dipandang dari segi kepentingan, maka kepentingan perkawinan
lebih berat pada pihak perempuan. Oleh karena itulah mereka menjadi
pemprakarsa dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Mulai mencari
jodoh, meminang, menyelenggaranakan perkawinan, lalu mengurus dan
menyediakan segala keperluan untuk membentuk rumah tangga sampai memikul
segala yang ditimbulkan dalam perkawinan itu. Mengapa demikian
pentingnya keterlibatan kerabat dalam suatu perkawinan disebabkan antara
lain :
Perkawinan merupakan suatu kewajiban bagi seorang gadis yang telah
memiliki kemampuan untuk berumah tangga. Bila ia dianggap telah dewasa
(“gadih gadang), maka merupakan kewajiban dari orang tua dan ninik mamak
mencarikan jodohnya. Sebab jika seorang gadis, dibiarkan tidak
bersuami, maka menimbulkan aib bagi kerabat yang bersangkutan. Tidak
saja bagi kaumnya, gadis itupun akan menderita cacat lahir bathin.
Mempunyai gadis gaek / perawan tua dalam rumah tangga merupakan aib
yang akan menjadi beban sepanjang kerabat itu. Martabat keluarga menjadi
jatuh karenanya. Print this page
Anda Berada Disini : Home »
Adat Perkawinan di Minangkabau
Adat Perkawinan di Minangkabau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)