Oleh : Drs. Yulius, Datuak Malako Nan Putiah.
Istilah ” bak abu diateh tunggua” ini, umum
diketahui oleh setiap orang Minangkabau yang sudah dewasa, yang
diibaratkan perlakuan yang dialami seorang suami dirumah istrinya yang
lazim disebut Rang Sumando. Hal ini tidak berlaku bagi
laki-laki minang dalam posisi lain, seperti posisinya dirumah orang
tuanya. Ia tidak akan pernah disebut sebagai seorang lelaki “ bak abu diateh tunggua.
Peran lelaki Minang sudah jelas yaitu sebagai seorang bapak – sebagai seorang Mamak – dan sebagai Urang Sumando.
Dalam kedudukan seperti ini, maka Ia akan menjalankan perannya
masing-masing – kapan saatnya ia sebagai seorang Kepala Keluarga, –
kapan saatnya sebagai Pemimpin Kaum dan Kapan pula sebagai seorang yang
Tamu di keluarga besar Isterinya. Jika seorang laki-laki bisa menempati
posisi yang diamanahkan oleh Agama – kemudian juga memenuhi tanggung
jawab dalam Adat, maka pastilah semua laki-laki itu tidak mengalami
nasib seperti itu. Jadi sebenarnya, tidak bisa dikatakan bahwa semua
laki-laki Minangkabau “ bak abu diateh tunggua”.
Sekarang apa yang dimaksud ‘ bak abu diateh tunggua’ itu…?? Mari kita pelajari istilah ini.
“Abu” adalah sisa pembakaran, yang lazimnya terdapat
pada tungku jarangan. Zaman dahulu – tiap keluarga mengandalkan tungku
untuk memasak masakan. Himpunan abu dan debu yang berasal dari suatu
material yang berasal dari sisa pembakaran itu – karena tidak memiliki
manfaat apa-apa lagi – maka ia akan dibuang karena sudah tak berguna.
Bahkan ia abu dan debu itu bisa terbang sendiri bersama angin lalu.
Bagaimana pristiwa serupa ini menjadi ajaran klasik yang muncul
dalam pituah Adat Minangkabau - yang dikaitkan dengan kehidupan
laki-laki minang ?
Sebagaimana kita ketahui bahwa lahirnya sebuah petuah, dikarenakan
adanya suatu masalah yang hendak diselesaikan. Bagaimana Ninik Mamak
menyelesaikan suatu masalah, tentunya berdasarkan criteria tertentu,
yaitu
Pertama, nilai manfaatnya
Kedua, ukuran berat dan ringannya
Ketiga, kemudahan dalam menyelesaikan masalah itu.
Dengan mengumpamakan “ Ba’ abu dan debu” itu, memang lebih tepat untuk menggambarkan situasi dan kondisi dalam penyelesaian suatu masalah
Pengertian manfaat tentunya terkait dengan kedudukan dan peran yang
disandang seorang lelaki pada umumnya, terutama tentang Rang Sumando
pada khususnya.
Saat ini yang sudah banyak perubahan, ketika munculnya para
intelektual Minang yang sudah mendalami budaya luar. Kedudukan Rang
Sumando dikeluarga sudah tidak perlu diperbicangkan lagi. Pasangan
keluarga minangkabau saat ini – sudah berubah – karena adanya kuatnya
peranan para suami atau Bapak / Ayah di keluarga inti.
Dengan demikian, Istilah “ba ‘ abu diateh tunggua’
ini – hanya kisah-kisah masa lalu yang cocok diperbicangkan oleh pihak
yang masih menyandang adat sebagai prilaku dalam berkeluarga belaka.
Yang menjadi pertanyaan – apakah prilaku istilah “ ba’abu diateh tunggua ” itu masih ada pada masa di Ranah Minang sekarang ?
Jika menilik pada sifat manusia – tidak saja di Minangkabau - pada
etnis masyarakat lainpun, kita masih menemukan karakter-karakter buruk (
suami ) yang bertindak semaunya didalam keluarganya. Ketika karakter
pria yang berprilaku buruk itu diangkat dalam adat Minang, maka kesannya
akan menjadi lain. Karena secara fakta – didalam sistem kekerabatan
Minangkabau – perempuan minangkabau mendapat kemuliaan menurut adatnya.
Karena sistem matrilinial yang dianut oleh etnis ini – garis
kekerabatan mereka mengambil garis keturunan ibunya.
Ketika kita menyadari bahwa dalam kehidupan ini, yang menjadi pedoman
dalam beragama adalah Al Quran – dimana Kitab Allah yang diturunkan
kepada umat nabi Muhammad, maka kita wajib mematuhinya. Sehingga ketika
melaksanakan adat dan budaya minang wajiblah berdasarkan ajaran agama
Islam. Menurut ajaran adat bersendi syara’ syara’ bersendi kitabullah,
garis keturunan (nasab) haruslah sesuai dengan syariah Islam. Bila
penarikan garis keturunan berdasarkan garis ibu hanyalah untuk
pengelompokkan - SUKU dan KAUM di Minangkabau. Pengelompokkan yang demikian tidak lebih dalam untuk kepentingan Sistem Persemendaan.
Ketika orang masih memperbicangkan ~ ba’ abu diateh tunggua ~ terhadap
lelaki yang diperlakukan semena-mena – meskipun istilah ini terlalu
berlebihan jika dikatakan demikian – maka istilah ini masih menjadi
bahan diskusi yang tak habis-habisnya.
Lebih dahulu kita pahami apa yang mempengaruhi sifat manusia pada
umumnya, yang diwujudkan dalam sikap dan tingkah lakunya Perkembangan
prilaku manusia pada umumnya, dibentuk semenjak ia lahir kemudian
menjalani kehidupan, dalam berbagai tahap yaitu menjadi kanak-kanak, remaja (usia akhil balig), dewasa dan orang tua.
Saat ia menjadi dewasa, ia mengalami perubahan – perubahan, yang disebabkan oleh Lingkungan Sosialnya.
Kedudukannya lelaki Minang sebagai Rang Sumando (menantu), maka budaya Minangkabau membedakan dalam 4 golongan, yaitu Rang Sumando Kacang Miang , Rang Sumando Lapiak Buruak, Rang Sumando Langau Hijau dan Rang Sumando Niniak Mamak.
Istilah ini diberikan kepada masing-masing sifat yang ada pada diri laki-laki ini.
- Rang Sumando Kacang Miang, memiliki sifat yang suka iri hati dan dengki.
Prilaku dan kebiasaannya suka menghasut dan menfitnah. Istilah sekarang
popular dengan Provokator. Dikatakan “ kacang minang ‘, karena sesuatu
yang ditebarkannya membuat pihak lain mengalami gangguan. Ulah dan
prilakunya ialah , bahwa Dia tidak suka kalau ada orang lain melebihi
kondisi rumah tangganya. Ia sering menciptakan persaingan antara para
Rang Sumando dalam satu kaum itu. Yang sangat membahayakan tatkala
sifatnya yang demikian itu menimbulkan keresahan didalam kehidupan
berkeluarga dan berkaum. Pada masa dahulu, kehidupan pasangan rumah
tangga demikian – Jika terdapat di dalam Rumah Gadang akan menimbulkan
suasana yang tidak mengenakkan ini dan tidak nyaman. Prilaku Urang
Sumando yang demikian itu tidak memberi manfaat bagi keluarga besar
isterinya. Tidak jarang anggota keluarga besar isteri akan berupaya
menjauhi dirinya atau menjauhkannya dari keikut sertaan dalam
perundingan, rapat keluarga. Tatkala pada suatu masa terjadi peristiwa
yang menyebabkan Urang Sumando ini harus pergi meninggalkan rumah
tangganya termasuk istri dan anak-anaknya, yang berakhir dengan
perceraian, maka Pihak Penghulu / Kepala Kaum istrinya – tidak ada
yang ingin mendamaikan antara didirinya dengan istrinya. Bahkan yang
lebih parah membiarkan saja kepergiannya itu. Kepergiannya pun dianggap
ringan seperti ringannya abu diatas tunggul kayu .
- Rang Sumando Lapiak Buruak, sebutan buat seorang Rang Sumando yang Pemalas, pengangguran. Meskipun
badannya tegap – namun badannya tanpak lusuh seperti orangyang tua
renta meskipun ia tidak berpenyakit. Kegiatan kesehariannya hanya
dirumah isterinya – duduk bermenung – pasif dan tidak ada inisiatif.
Tidak berupaya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Ia benar-benar
menganggap kedudukan dirinya sebagai tamu belaka. Ia tidak mau berkontribusi bagi kepentingan orang banyak.
Sebaliknya istrinya yang bekerja keras diluar rumah, entah bertani –
bersawah atau berladang – bahkan berjualan keluar rumah untuk berdagang.
Pada masa sekarang ini, tidak jarang ada laki-laki serupa ini terlarut
dengan karir isterinya, bahkan ia bangga dengan hidupnya yang tergantung
dengan pendapatan isterinya. Sebaliknya, jika Ia diajak bekerja, tidak
mampu menghasilkan penghasilan – karena Ia tidak pernah
bersungguh-sungguh. Bila di beri saran kebaikan – ia tidak bisa
menerima saran itu. Akibat Rang Sumando golongan ini, dianggap tidak
berguna bagi keluarga isterinya. Tidak masuk hitungan – karena sosoknya
yang pasif itu dianggap sepi saja dikeluarga besar isterinya.
Karena itulah ia tidak diberi peran apa apa lagi, sehingga Ia
dibebaskan dari tanggung jawab dan diringankan oleh lingkungan keluarga
istrinya. Lelaki serupa inilah yang nasibnya disebut “ bak abu diateh tunggua”. Kapan saja dia boleh terbang dan tidak akan dicari.
- Rang Sumando Langau Hijau , ini sebutan untuk Rang Sumando yang mata keranjang dan hidung belang. Istilah Minangnya “ caluang “.
Lelaki seperti ini memiliki kebiasaan suka merayu para gadis atau
janda-janda. Membohongi para wanita yang dirayunya, meskipun dia sendiri
sudah punya anak dan istri. Apabila berhasil dengan rayuannya – ia
menikahi para gadis itu. Akibatnya ia memiliki isteri dan anak
dimana-mana.
Banyak istilah lain yang mengarah terhadap lelaki serupa ini, bahwa
ia memiliki kelemahan dibidang ke susilaan. Lelaki serupa ini ada, baik
pada masa dahulu maupun masa sekarang, baik yang tinggal kampung
halaman atau dikota bahkan di Rantau jauh sekalipun. Yang memprihatinkan
– apabila ia suka mengunjungi tempat maksiat dan tidak pernah
melaksanakan sholat.
Jika Penghulu/ Kepala Kaum mengetahui – urang sumando yang serupa ini
di keluarga besarnya, maka Penghulu / Kepala Kaum akan berusaha
memisahkan lelaki ini dari isterinya, demi menjaga akhlak kelaurga
besarnya. Ketika lelaki Minang melakukan hal serupa ini dikeluarga
isterinya, maka segenap keluarga besar isterima mengharapkan ia terbang
pergi. Ia pun akan akan menerima nasib “ bak abu diateh tunggua”.
- Rang Sumando Niniak Mamak , adalah laki-laki
Minang yang punya wibawa dan disegani karena sifat-sifat dan prilakunya
yang terpuji. Berkata selalu jujur dan perkataan yang dilontarkannya
selalu benar. Berupaya dan berusaha untuk memenuhi nafkah
anak-isterinya. Sikap dan keteladanannya selalu menjadi contoh, baik
dikeluarga – masyarakat. Dikeluarga isterinya suaranya didengar. Ia
dijadikan tempat bertanya dan menyelesaikan masalah. Urang Sumando yang
memiliki sifat seperti ini, Ia akan dijadikan PEMIMPIN dalam keluarga
isterinya.
Jika masa dahulu kala, menggambarkan Rang Sumando Ninik Mamak ialah
ketika ia rajin bersawah dan berladang. Selalu menghasilkan panen padi
secara sempurna. Begitu pula dalam menjalani ibadahnya. Ia tidak pernah
putus menjalani syariat Agama Islam. Hal ini dapat ditunjukkan
kesehariannya. Ba’da sholat subuh - dengan bekal secangkir kopi Rang
Sumando ini , sudah turun dari rumah memanggul pacul atau memanggul
bajak sambil menarik kerbau, menuju sawah atau ladang garapannya.
Barangkali tak salah bila kita saksikan suasana palam pedesaan yang
menampilkan suasana para petani. Kira-kira jam 08.00 istri petani yang
setia datang ke sawah menjujuang bakul nasi dan menjinjiang tabuang kawa
, untuk suami yang menjadi kebangaannya ini.
Apabila digambarkan masa sekarang, ketokohannya ditampilkan, ketika
sebagai urang sumando yang mampu beradaptasi dengan keluarga isterinya.
Bahkan di keluarga isterinya, urang sumando ninik mamak ini ditempatka
sebagai pemimpin keluarga.
Buya Hamka dalam buku “ Islam dan Adat Minangkabau, melalui tulisan
esaynya telah mengupas dan menggambarkan kebiasan buruk “ laki-laki
Minangkabau” ini. Diantaranya menyampaikan kebiasaan buruk lelaki
minang yang memiliki isteri disetiap kampuang. Ada yang pergi hingga
larut malam atau pulang hingga keesokan hari. Bahkan ada yang tiap hari
berkumpul dirumah orang tuanya, namun tidak bertanggung jawab atas
nafkah anak isterinya.
Dalam keadaan seperti ini, jelas Ia bukan golongan Rang Sumando
Niniak Mamak, sebagaimana yang diharapkan. melainkan ialah laki-laki
yang akan menerima nasib bak abu diateh tunggua . Print this page
Anda Berada Disini : Home »
Istilah abu diateh tunggua
Istilah abu diateh tunggua
Langganan:
Posting Komentar (Atom)